cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER (JHAPER) adalah terbitan berkala yang dikelola dan dipublikasikan oleh Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER), suatu organisasi profesi yang menghimpun para dosen perguruan tinggi negeri yang mengajar dan menekuni mata kuliah Hukum Acara Perdata. Jurnal ini menjadi wadah bagi para dosen yang tergabung dalam ADHAPER, para praktisi hukum dan pengamat hukum untuk memberikan kontribusi pemikiran berupa artikel hasil penelitian dan artikel konseptual untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER juga mengemban misi sebagai salah satu media untuk menampung dan mempublikasikan gagasan-gagasan yang mendorong dilakukannya pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional Indonesia oleh Pemerintah dan Legislatif.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015" : 10 Documents clear
PROSES KEPAILITAN OLEH DEBITOR SENDIRI DALAM KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Mantili, Rai
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.344 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.15

Abstract

Kesulitan dalam pembayaran utang dapat mengakibatkan debitor mengajukan permohonan pailit terhadap diri sendiri. Permohonan pailit oleh Debitor sendiri dapat dikaji berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil pembahasan menunjukkan proses beracara terhadap permohonan pailit oleh debitor sendiri menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku bagi pengadilan niaga adalah hukum acara perdata pada pengadilan negeri, sebagaimana diatur di dalam HIR dan RBg. Hanya saja terdapat ketentuan khusus untuk perkara-perkara kepailitan atau PKPU, yaitu berkaitan dengan: kompetensi absolut pengadilan niaga; hakim yang memiliki kualifikasi khusus; jangka waktu proses peradilan yang terbatas; prosedur berperkara dan pembuktiannya lebih sederhana atau mudah; jangka waktu yang lebih pasti untuk tindakan-tindakan prosedural; tidak mengenal lembaga banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali; dan akibat hukum adanya permohonan pailit yang dikabulkan akan menjadikan debitor tidak lagi berwenang mengurus dan menguasai hartanya, sedangkan akibat hukum kepada kreditor akan dilakukan pembayaran piutang dari pemberasan harta kekayaan debitor.Kata kunci: proses, kepailitan, debitor
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA Herowati Poesoko
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (725.496 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.20

Abstract

Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. Oleh karena itu Hukum Acara Perdata akan digunakan manakala ada sengketa perdata. Sehingga bagi orang yang merasa dilanggar atau dirugikan haknya maka kepentingannya dilindungi oleh hukum, dengan cara mengajukan tuntutan/ gugatan ke pengadilan, agar perkara yang menjadi sengketa dapat diselesaikan sehingga pelaksanaan putusannya (eksekusinya) dapat direalisasikan sehingga orang yang merasa dirugikan haknya atau dilanggar haknya, dengan melalui putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kemudian putusannya dilaksanakan (eksekusi), maka hak tersebut dipulihkan kembali kepada yang berhak. Namun demikian harus melalui proses dan diatur oleh Peraturan Perundang-undangan. Pekerjaan seorang hakim tidak semata-mata bersifat teknikal melainkan lebih bersifat intelektual. Untuk menajamkan visi intelektualnya, maka seorang hakim senantiasa berusaha mengenali secara terus menerus lingkungan sosialnya. Hanya dengan jalan demikian seorang hakim akan memiliki kepekaan serta tanggap terhadap dinamika perkembangan hukum maupun dinamika sosial. Seorang hakim dituntut secara aktif dan terus menerus mengikuti dan menelusuri hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum, sumber-sumber hukum, doktrin, yurisprudensi, nilai-nilai hukum yang berlaku, terutama pada saat memberikan pertimbangan hukum (ratio decidendi) hakim harus mampu menafsirkan, berlogika serta argumentasi hukum agar putusannya berpijak pada nilai keadilan, nilai manfaat dan nilai kepastian hukum sehingga wibawa hukum akan tercermin dalam putusannya tersebut.Kata kunci: penemuan hukum, hakim, penyelesaian sengketa
PROBLEMATIKA PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI INDONESIA Candra Irawan
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (729.085 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.11

Abstract

Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan seharusnya mampu mempercepat penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi (perdamaian) tanpa harus berlanjut pada penyelesaian melalui mekanisme peradilan perdata. Faktanya, proses mediasi seringkali gagal mendamaikan para pihak. Hal tersebut terjadi karena: 1) ketidakcakapan mediator (umumnya mediator berasal dari hakim yang belum bersertifikat); 2) mediasi dianggap memperpanjang waktu penyelesaian perkara di Pengadilan; 3) tidak adanya insentif bagi hakim mediator yang menyebabkan rendahnya komitmen mediator untuk berupaya mendamaikan para pihak; 4) keraguan para pihak terhadap eksekusi hasil kesepakatan mediasi; 5) rendahnya pengawasan dan pembinaan terhadap mediator; dan 6) budaya hukum bermediasi rendah (hakim, advokat dan para pihak). Hal tersebut perlu segera diatasi agar para pihak yang bersengketa lebih memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari pada harus berjibaku dalam proses peradilan yang melelahkan, lama, mahal dan memposisikan salah satu pihak sebagai pemenang (the winner) dan pecundang (the losser). Apalagi eksistensi hukum mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30Tahun 1999, dan mediasi lebih sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.Kata kunci: mediasi, pengadilan, sengketa perdata
PERKEMBANGAN ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENUJU PEMBARUAN HUKUM ACARA PERDATA Efa Laela Fakhriah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.16

Abstract

Dalam era perdagangan bebas yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan dan perbankan. Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan, terutama di bidang perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan yang konkrit, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan dan bersifat individual. Hal ini juga dipengaruhi oleh pergaulan hidup internasional dalam era globalisasi. Sampai saat ini alat bukti yang diatur dalam undang-undang adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat, keterangan saksi ahli, dan secara khusus media elektronik yang menyimpan dokumen perusahaan (menurut undang-undang Dokumen Perusahaan) seperti microfilm dan media penyimpan lainnya yaitu alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan ke dalamnya. Dalam praktik muncul berbagai jenis yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik seperti misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video conference (teleconference), sistem layanan pesan singkat/SMS, hasil rekaman kamera tersembunyi/cctv, informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpan data. Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum.Kata kunci: alat bukti, pembaharuan hukum, hukum acara perdata
TIPOLOGI SENGKETA TANAH DAN PILIHAN PENYELESAIANNYA (STUDI PADA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SEMARANG) Aprila Niravita; Rofi Wahanisa
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (593.527 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.12

Abstract

Artikel ini berdasarkan inventarisasi kasus pertanahan di Kabupaten Semarang yang relatif cukup banyak. Berdasarkan data yang sudah di inventarisasi pada tahun 2012 terdapat 87 kasus, dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah kasus yakni berjumlah 91 kasus. Upaya penyelesaian kasus pertanahan di Kabupaten Semarang pada umumnya diselesaikan melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang, sedangkan secara litigasi pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Ungaran, Pengadilan Agama Ambarawa dan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang; sedangkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Pilihan penyelesaian lebih banyak dilakukan melalui mediasi. Sedangkan peran seksi sengketa konflik dan perkara pada Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang lebih kepada proses penyelesaian kasus pertanahan berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.Kata kunci: tipologi sengketa, penyelesaian sengketa, kasus pertanahan
REKAMAN PEMBICARAAN TELEPON SEBAGAI ALAT BUKTI PERJANJIAN BANK DENGAN NASABAH PADA BANCASSURANCE Nancy S. Haliwela
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (650.82 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.17

Abstract

Perkembangan sarana komunikasi dan teknologi memberikan dampak kemajuan dalam sektor bisnis, penggunaan media teknologi pada kegiatan pemasaran dapat dilakukan dari jarak jauh, tanpa harus bertemu langsung dengan calon konsumennya. Perbankan dalam menjalin aktivitas kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance) dengan menggunakan sarana komunikasi (telemarketing). Bancassurance adalah produk asuransi yang dikembangkan dan didistribusikan melalui jaringan bank. Surat Edaran bank Indonesia Nomor. 12/35/DPNP tanggal 23 Desember 2010 menjadi payung hukum bagi kegiatan bancassurance di Indonesia, aturan terkait lain dari Surat Edaran Otorisasi Jasa Keuangan Nomor. 12/SEOJK.07/2014 tentang Penyampaian Informasi Dalam Rangka Pemasaran Produk dan/atau Layanan Jasa Keuangan. Ketentuan ini menentukan kerjasama distribusi pemasaran produk asuransi dengan cara memberikan penjelasan mengenai produk asuransi secara langsung kepada nasabah. Penjelasan dari bank dapat dilakukan melalui tahap tatap muka dengan nasabah dan/ atau dengan menggunakan sarana komunikasi (telemarketing), termasuk surat, media elektronik dan website bank. Penggunaan sarana komunikasi telepon dan short message service (SMS). Penawaran produk kepada nasabah telah meresahkan masyarakat (nasabah) akibat bunyi dering telepon dan SMS yang mengganggu dan menyita waktu dan aktivitas kerja nasabah. Diperlukan penyempurnaan aturan oleh Bank Indonesia dan Otorisasai Jasa Keuangan mengantisipasi meningkatnya pemasaran produk bancassurance untuk memberikan perlindungan konsumen (nasabah). Persoalan hukum yang perlu dikaji bagaimana konsekuensi hukum rekaman pembicaraan telepon antara bank dengan nasabah, kedudukan dan kekuatan hukum sebagai alat bukti bagi para pihak di pengadilan.Kata kunci: alat bukti rekaman, nasabah, bank
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA: STUDI KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PT. PELINDO II (PERSERO) Sherly Ayuna Putri
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (639.911 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.13

Abstract

Pengunduran diri sejumlah pekerja PT Pelindo II (Persero) dari jabatan mereka di perusahaan dengan alasan menolak kebijakan perusahaan yang dapat menjerumuskan mereka untuk melakukan tindak pidana sehingga berpotensi diperiksa oleh pihak penegak hukum berujung pada PHK secara sepihak oleh perusahaan. Perusahaan menganggap pengunduran diri tersebut adalah secara sukarela sehingga perusahaan tidak perlu membayar hak-hak normatif mereka dan tidak mempekerjakan mereka kembali. Tindakan perusahaan yang melakukan PHK tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003, pengunduran diri pekerja dari jabatan mereka di perusahaan tidak dapat diartikan pengunduran diri sebagai pekerja perusahaan. Dalam penyelesaian perselisihan PHK perlu diperhatikan keseimbangan untuk memberikan kepada setiap pihak hasil dari penyelesaian perselisihan yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan baik itu dapat berupa sanksi ataupun dapat berupa kesepakatan yang lebih lanjut yang akan disepakati antara pekerja dan pengusaha, serta perlindungan hukumnya mengenai hak-hak bagi para pekerja yang terkena PHK harus lebih diperhatikan lagi. Untuk itu perlu adanya peran aktif dari pemerintah dalam rangka fungsi pengawasan atas pelaksanaan ketentuan di bidang hubungan industrial.Kata kunci: pemutusan hubungan kerja, pengunduran diri, BUMN
MENGEVALUASI PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM KEPAILITAN SEBAGAI PERLINDUNGAN TERHADAP DUNIA USAHA DI INDONESIA Mulyani Zulaeha
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (620.418 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.18

Abstract

Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Pengadilan Niaga dalam memutus suatu perkara kepailitan hanya terbatas pada pembuktian secara sederhana terhadap unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, apabila persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi maka debitur tersebut harus dipailitkan oleh Pengadilan Niaga. Pembuktian sederhana dalam kepailitan di satu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun di sisi lain mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan terutama terhadap kepailitan perusahaan prospektif. Hal ini karena tidak ada perbedaan sistem pembuktian antara kepailitan perorangan maupun kepailitan badan hukum (perusahaan). Padahal implikasi putusan pailit perorangan dengan putusan pailit perusahaan berbeda, pailitnya sebuah perusahaan secara mikro akan membawa dampak yang luas terhadap nasib karyawan dan stakeholder, secara makro akan berpengaruh bagi iklim dunia usaha di Indonesia khususnya bagi perusahaan yang masih potensial untuk terus berkembang. Fakta menunjukkan bahwa permohonan pailit yang diajukan di Indonesia lebih banyak terhadap perusahaan dibandingkan dengan permohonan pailit untuk perorangan. Apabila sistem pembuktian sederhana yang berlaku saat ini tetap terus dilaksanakan maka perusahaan yang masih potensial untuk berkembang dapat dinyatakan pailit. Oleh karena itu perlindungan terhadap perusahaan yang masih potensial untuk mendapat perlindungan dari ancaman pailit, melalui evaluasi sistem pembuktian sederhana dalam kepailitan.
SIDANG KELILING DAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERDATA: STUDI PENGAMATAN SIDANG KELILING DI PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA Hazar Kusmayanti; Eidy Sandra; Ria Novianti
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (605.99 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.14

Abstract

Penyelesaian sengketa di pengadilan sudah seharusnya didasarkan pada prinsip pemeriksaan perkara secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat pencari keadilan, Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menjalankan sidang keliling sebagai bentuk pelayanan bagi para pencari keadilan. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan sidang keliling yang dilakukan di Pengadilan Agama Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi beberapa prinsip hukum acara perdata yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan. Di antaranya ketika masyarakat terpencil yang mengalami hambatan untuk datang ke kantor pengadilan karena alasan jarak, transportasi dan biaya, ternyata akses pada keadilan dapat diberikan dengan pihak pengadilan yang datang langsung ke lokasi dengan pemeriksaan perkara yang relatif cepat (cukup empat kali sidang) serta adanya sistem kontrol yang efektif dari berbagai unsur untuk menjamin kualitas pemeriksaan perkara. Namun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sidang keliling di antaranya belum ada pedoman pelaksanaan sidang keliling yang baku, tidak semua perkara yang didaftarkan warga dapat diselesaikan dalam sidang keliling, anggaran yang terbatas, perkara yang disidangkan belum semuanya pro deo, kurangnya sarana dan prasarana dan tidak semua pengadilan agama mengadakan sidang keliling.Kata kunci: sidang keliling, hukum acara perdata, peradilan agama
PATOLOGI DALAM ARBITRASE INDONESIA: KETENTUAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM PASAL 70 UU No. 30/1999 Sujayadi Sujayadi
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (652.944 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.19

Abstract

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, meskipun demikian putusan arbitrase masih dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan. Permohonan pembatalan ini untuk mengakomodir prinsip keadilan dan hanya dimungkinkan apabila putusan arbitrase terbukti memenuhi alasan pembatalan sebagaimana diatur dan dibatasi di dalam undang-undang. UU No. 30/1999 sebagai hukum arbitrase (lex arbitri) Indonesia telah menentukan tiga alasan pembatalan putusan arbitrase secara alternatif di dalam Pasal 70. Akan tetapi ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan karena di dalam bagian Penjelasan Umum alinea ke-18 yang menggunakan frase “antara lain”, telah mengakibatkan banyak pihak menafsirkan bahwa alasan pembatalan putusan tidak terbatas pada tiga alasan yang disebutkan dalam Pasal 70 UU No. 30/1999. Selain itu, Penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 menyaratkan bahwa permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan terlebih dahulu yang membuktikan adanya pelanggaran sebagai alasan pembatalan. Prinsip universal yang berlaku dalam hukum arbitrase negara-negara modern menunjukkan bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase selalu dibatasi oleh undang-undang. Demikian pula Mahkamah Agung RI dalam putusan-putusannya terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagian besar telah berpendapat bahwa alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif; dan secara formil permohonan pembatalan putusan arbitrase harus disertai dengan putusan pengadilan yang membuktikan adanya alasan pembatalan tersebut. Namun syarat formil tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi karena pengaturannya di dalam Penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 telah melahirkan norma baru yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945.Kata kunci: pembatalan, putusan arbitrase

Page 1 of 1 | Total Record : 10